MANU PUTRA BUNTET PESANTREN

Komplek Buntet Pesantren Desa Mertapada Kulon Kec. Astanajapura Kabupaten Cirebon, Jawa Barat 45181
P: - (0231) 636597 E: manuputra_buntet@yahoo.co.id

SEPUTAR PERINGATAN MAULID NABI

Diposting : Nasif   Tanggal : 30 Oktober 2020 14:58:46   Dibaca : 1438 Kali

(Oleh : Muhammad Hamdi, M.Ag)

Kajian mengenai peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW selalu ramai utamanya di bulan Rabi’ul Awal. Perdebatan mengenai hukum perayaan Maulid Nabi SAW seakan kembali menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak bagi umat Islam, kendati seharusnya perdebatan mengenai hal ini telah usai karena kuatnya dalil dan dukungan dari para ulama bahkan Sahabat akan keutamaannya. Namun sebagian pihak tetap enggan menerima kenyataan yang berlawanan dengan keyakinan mereka.Tidak sedikit yang bertanya mengenai hukum memperingati hari kelahiran Nabi SAW bukan dalam rangka berdiskusi untuk menemukan kebenaran, akan tetapi lebih karena untuk memperkeruh keadaan yang tengah kondusif, memecah persatuan atau sekadar menunjukkan eksistensi.

Berikut ini beberapa argumentasi tentang keutamaan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari litaratur-literatur yang mu’tabarah.

As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al-Maliki (w. 2004 M) mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi Saw adalah bentuk dari kesenangan dan kegembiraan akan datangnya Rasulullah Saw sebagai salah satu ekspresi dari cinta kepada Rasulullah Saw. Perayaan Maulid Nabi Saw merupakan sebuah perkumpulan untuk mendengarkan sirah Rasulullah Saw, pujian-pujian terhadap beliau, memberikan makanan, memuliakan orang-orang miskin dan kurang mampu, serta memberikan kegembiraan di hati para pecinta Rasulullah Saw. Perkumpulan ini adalah salah satu media dakwah yang membuka kesempatan bagi para ulama dan da’i untuk mengingatkan umat tentang akhlak, perilaku, sejarah, ibadah dan aktivitas sosial Rasulullah Saw.

Orang yang pertama kali memperingati hari kelahiran Rasulullah Saw adalah Rasulullah Saw itu sendiri. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw ditanya tentang berpuasa di hari Senin. Lalu beliau menjawab:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ

Itu adalah hari di mana aku dilahirkan di dalamnya. (HR. Muslim No. 1162)

Kalau kemudian ada pertanyaan mengapa Rasulullah Saw tidak mengadakan peringatan Maulid pada bulan Rabi’ul Awal? Imam Abu Abdillah bin Al-Hajj Al-‘Abdari (w. 737 H) menjawab bahwa sebagaimana diketahui dari kebiasaan Rasulullah Saw adalah tidak mau membebankan umatnya, terlebih sesuatu yang berkaitan dengan pribadi beliau.

Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H) mengatakan bahwa peringatan Maulid bersumber dari dalil yang kuat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا،أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا، يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟" فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا، فَنَحْنُ نَصُومُهُفَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Dari Ibn Abbas r.a, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw datang ke Madinah lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada mereka, “Hari apa yang kalian puasai ini?” Mereka menjawab, ini adalah hari besar, Allah menyelamatkan di dalamnya Nabi Musa dan kaumnya, menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Nabi Musa berpuasa hari itu karena bersyukur, maka kami pun berpuasa. Lalu Rasulullah Saw besabda: Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Nabi Musa daripada kalian”. Maka Rasulullah Saw berpuasa Asyura dan memerintahkannya.(HR. Bukhari No. 2004 dan 4737, Muslim No. 1130, Ahmad No. 2644 dan 2831)

Dari hadis ini dapat diambil poin penting mengenai bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat atau penolakan dari bahaya.Bersyukur dapat dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah seperti salat, puasa, sedekah atau membaca Al-Qur’an. Nikmat mana lagi yang lebih besar daripada kelahiran Nabi Muhammad SAW, Sang Nabi yang agung ini? Oleh karena itu, agar sesuai dengan kisah Nabi Musa di hari ‘Asyura’ sebagaimana hadis di atas, maka peringatan Maulid diselenggarakan tepat pada hari kelahiran Rasulullah Saw. Kalaupun seseorang atau kelompok memperingatinya pada hari yang tidak bertepatan dengan hari kelahiran beliau, setidaknya mereka telah melakukan sesuatu yangberkaitan dengan substansihadis ini.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) mengungkapkan dalil lainnya, yakni hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ

Dari Anas r.a, bahwa sesungguhnya Nabi SAW berakikah untuk diri beliau sendiri setelah kenabian. (HR. Al-Baihaqi No. 19273)

Ada pula riwayat bahwa kakek beliau, Abdul Mutthallib, telah mengakikahi beliau di hari ketujuh setelah kelahiran beliau. Sementara akikah tidak dilaksanakan secara berulang. Dengan demikian, akikah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah dalam rangka menampakkan rasa syukur atas karunia dari Allah kepada beliau sebagai rahmatbagi seluruh alam dan kemuliaan umatnya. Maka disunnahkan bagiumat Islam untuk menampakkan pula rasa syukur atas kelahiran Nabi Saw dengan mengumpulkan saudara-saudara, memberikan makan kepada mereka atau apapun berupa kebaikan-kebaikan lainnya.

Al-Hafizh Syamsuddin Al-Jazari (w. 660 H) dalam kitab ‘Urf at-Ta’rif bil Maulid Asy-Syarif mengatakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa neraka setiap malam Senin karena telah memerdekakan Tsuwaibah, budak perempuannya, yang mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi Saw lalu menjadikan Tsuwaibah sebagai ibu susuan Nabi Saw. Jika Abu Lahab –di mana Surat Al-Qur’an turun untuk mencelanya- saja diberi balasan yang baik sebab kegembiraan pada kelahiran Nabi SAW, lalu bagaimana dengan seorang muslim ahli tauhid yang turut bergembira dengan kelahiran Nabi Saw dan memberikan apa yang mampu ia berikan karena cinta kepada Rasulullah Saw?.

Bergembira dengan keberadaan Rasulullah SAW ada tuntutannya dari Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. (QS. Yunus [10]: 58)

Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat-Nya, sedangkan Nabi Saw adalah rahmat terbesar. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعٰلَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107)

Dikuatkan pula oleh tafsiran Surat Yunus ayat 58 dari Ibn Abbas. Beliau berkata bahwa “فَضْلُاللَّهِ” adalah “ilmu” dan “رَحْمَتُهُ” adalah “Nabi Muhammad Saw”.

Kreativitas umat Islam dalam merayakan Maulid Nabi Saw semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perayaan Maulid Nabi Saw meskipun dengan formatnya yang sekarang tidak ada pada masa Nabi Saw sehingga dikatakan bid’ah, namun itu bid’ah yang baik karena berdasar pada dalil-dalil syariat dan kaidah-kaidah kulli (global), karena kendati format perkumpulannya itu baru, namun parsial-parsial di dalamnyaseperti memuji dan meneladani Rasulullah Saw, bergembira dengan kehadiran beliau, memberikan makanan,atau semacamnya, telah ada pada masa Nabi Saw.

Syaikh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H) mengungkapkan perkataan Khulafa’ ar-Rasyidin dan para ulama tentang Maulid Nabi Saw dalam kitabnya, An-Ni’mat al-Kubra ‘ala al-‘Alam fi Maulid Sayyid Walad Adam. Abu Bakr Ash-Shiddiq r.a berkata: “Barangsiapa menginfakkan satu dirham atas pembacaan Maulid Nabi Saw, maka ia adalah temanku di surga.”

Sayyidina Umar bin Khaththab r.a berkata: “Barang siapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, maka sungguh ia telah menghidupkan Islam.”

Sayyidina Usman bin Affan r.a berkata: “Barang siapa menginfakkan satu dirham atas pembacaan Maulid Nabi Saw, maka seolah-olah ia ikut dalam perang Badar dan Hunain.”

Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a berkata: “Barang siapa mengagungkan Maulid Nabi Saw dan ini menjadi penyebab ia membacanya, maka ia tidak keluar dari dunia kecuali dengan membawa iman dan akan masuk surga tanpa hisab.”

Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Aku senang seandainya memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu aku menginfakkannya atas pembacaan Maulid Nabi SAW.”

Imam Junaid Al-Baghdadi (w. 298 H) berkata: “Barang siapa menghadiri Maulid Nabi SAW dan mengagungkan derajat beliau, maka ia akan memperoleh kebahagiaan dengan keimanan.”

Syaikh Ibn Taimiyah (w. 728 H) berkata:

فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مُوسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُونُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُولِ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai hari besar adalah sesuatu yang terkadang dilakukan oleh sebagian orang dan baginya terdapat pahala yang besar karena tujuannya yang baik serta penghormatannya kepada Rasulullah Saw.

As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al-Maliki mengatakan bahwa meskipun hari Maulid Nabi Saw tidak disebut sebagai hari ‘Id (hari raya), sebab umat Islam hanya memiliki dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, akan tetapi hari Maulid lebih besar dari pada hari raya, karena Nabi Saw datang membawa hari raya dan segala kebaikan dalam Islam. Seandainya tidak ada kelahiran Nabi Saw, maka tidak akan ada risalah, turunnya Al-Qur’an, Isra’ dan Mi’raj, hijrah, Fath Makkah, dan lain-lain, karena semua itu berkaitan dengan diri Nabi Saw. Oleh kaena itu, Maulid Nabi Saw adalah sumber dari peristiwa-peristiwa yang agung tersebut.

Sumber:

  1. Haul al-Ihtifal Bidzikra al-Maulid An-Nabawi Asy-Syarif; As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al-Maliki
  2. Al-I’lam Bifatawa A’immah al-Islam Haul Maulidih; As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al-Maliki
  3. Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid; Jalaluddin As-Suyuthi
  4. An-Ni’mat al-Kubra ‘ala al-‘Alam fi Maulid Sayyid Walad Adam; Ibn Hajar Al-Haitami
  5. Iqtidha’ ash-Shirat al-Mustaqim; Ibn Taimiyah

*) Penulis merupakan salah satu Guru MANU Putra Jurusan Syariah